Seminggu terakhir, saya menerima kabar kematian dari 2 orang teman. Satu kehilangan ibunya, satu lagi ayahnya. Jika ditarik lebih jauh, rasanya jemari sudah habis untuk menjadi tanda hitung satu-satu datangnya berita kematian. Pernah kabar kematian datang bertubi-tubi dari orang-orang dekat saya. Dalam jangka 1 tahun, 3 orang teman kehilangan masing-masing satu dari orang tuanya. Dari sebagian besar itu, penyebab kematiannya adalah karena usia (tentu saja sakit yang turut menguntit).
Cerita tentang kematian.
Banyak diantaranya, saya mengingat kematian sebagai tumpahan air mata dari orang-orang yang ditinggalkan. Kematian pertama yang saya ingat adalah kematian anak dari seorang teman. Samar terlintas dalam benak betapa dia menggendong jasad anak keduanya, yang lahir tak bernyawa, ke sebuah pemakaman. Nampak senyum ikhlas ketika ia melihat wajah tanpa dosa yang sudah terbenam ke dalam kain batik sebelum nanti diganti oleh kafan. Tak nampak istrinya yang malam sebelumnya berjuang melahirkan jabang bayi yang ia ketahui langsung dikebumikan. Tentu, saya membayangkan, ia jatuh dalam kesedihan yang tak bisa siapapun bayangkan.
Agaknya, cerita di atas adalah cerita kematian pertama yang saya benar resapi. Meskipun saya pernah kehilangan anggota keluarga: kakek saat saya berusia 13 tahun, sepupu saat saya berusia 19 tahun, paman saat saya berusia 20 tahun, dan beberapa kematian lain.
Kematian istrinya, membuat teman saya menghubungi saya sesaat setelah adzan maghrib sehari sebelum Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke-77. Di akhir kabar yang dihiasi dengan tangis tertahan, saya membesarkan hatinya dengan kalimat bahwa istrinya sudah sembuh, tak merasakan sakit lagi. Dia membalas dengan mengulangi kalimat saya sambil mempertanyakan ulang sekaligus memperkuat kalimat saya tadi. Saya membalas dengan singkat, “Iya”. Sebelumnya, perasaan tak enak muncul saat handphone saya berdering dengan nama yang sama di beberapa hari terakhir. Siangnya, teman saya memberi kabar bahwa kondisi kesehatan istrinya sudah turun drastis dan dibawa ke dalam ruang ICU. Esoknya, saya menyaksikan prosesi pemakaman dalam layar handphone. Terlihat si kecil, buah hati mereka, menaburkan bunga dengan penuh ceria ke atas gundukan tanah yang menyembunyikan ibunya. Lekas saya mematikan siaran langsung itu setelah pecah air mata yang tak sanggup lagi saya sembunyikan.
Lalu, berita kematian juga menghampiri teman akrab saya saat pagi masih juga belia. Pukul 2 pagi, nada dering dari handphone saya terdengar samar di antara mimpi dan sadar. Pada dering kesekian, saya terbangun dan langsung menyambar benda yang tergeletak di lantai. Tentu di pagi buta seperti itu, ada sesuatu penting yang membuat teman saya menghubungi saya. Di sana, ia terisak mengabarkan bahwa ibunya meninggal. Saya merespon dengan menyambangi kamarnya, memeluk dan menepuk bahu di tengah isak tangisnya. Setengah jam kemudian, saya melepasnya pergi bersama travel yang membawanya menuju bandara di pagi buta.
Berita kematian terakhir datang dari 2 orang teman perempuan saya. Di pagi yang sudah menyala, pemberitahuan muncul dari aplikasi perpesanan, WhatsApp, dan terlewatkan. Saya membukanya sesaat setelah motor terparkir rapih di tempat parkir perusahaan. Sahabat saya kehilangan ibundanya. Sahabat saya itu memberi pesan singkat 4 baris, 1 baris diantaranya berupa emoticon telapak tangan tertangkup yang saya bayangkan sebagai penguatan kalimat di baris sebelumnya yang berisi permintaan maaf jika ibunya memiliki salah. Penghuni grup, termasuk saya, tentu memberi ucapan bela sungkawa dan diakhiri dengan kata “sabar” dengan harapan dia bisa menerima kondisi ini dengan manusiawi. Tak lama, sahabat saya yang sedang kehilangan itu merespon dengan kalimat yang mengatakan bahwa ia tidak siap. Memang, tidak ada yang siap dengan berita kematian, betapapun dipersiapkan sebaik-baiknya.
Tak lama, berita kematian lain menghampiri orang-orang di sekitar saya. Dengan pola yang sama, secara tiba-tiba lalu diiringi dengan air mata.
Refleksi kematian yang akan dialami.
Tentu, beberapa cerita kematian di atas akan terjadi kepada saya. Kematian orang-orang terdekat dan yang saya kasihi. Bisa saja ayah, ibu, mertua, istri, bahkan anak. Kematian tak pernah memilih siapa yang diajak duluan, bukan? Di dalam perspektif islam, kematian digambarkan sebagai pengingat bagi yang hidup untuk senantiasa berbuat kebaikan serta kebajikan. Semakin bertambah usia, saya menyadari bahwa orang-orang yang saya sayangi juga bertambah usia. Bertambah usia berarti berkurang jatah kehidupannya di dunia.
Namun, nyatanya obrolan tentang kematian masih menjadi topik yang sama sekali wajib dihindari oleh khalayak umum. Pamungkasnya adalah kutipan kalimat “kata adalah doa” yang diawali dengan ungkapan husss lalu diakhiri dengan ajakan ber-istighfar. Kenapa obrolan tentang kematian menjadi ketakutan tersendiri? Bukankah kematian akan datang menghampiri setiap yang bernyawa?
Kalau boleh dicap tak berempati, saya pernah membayangkan reaksi saya ketika nanti orang tua saya meninggal. Bagaimana perasaan, reaksi, serta antiklimaks yang akan saya lakukan. Menangis? Tentu. Kehilangan? Pasti. Hingga pertanyaan, berapa lama kesedihan akan bertahan dalam hari-hari saya. Hingga pada ritual kirim doa.
Reaksi dan pandangan terhadap kematian.
Di suatu pagi, saya pernah hampir gila memikirkan kemana saya akan bermuara setelah berakhir di dunia. Segala bias tentang hidup setelah mati membuat otak saya bekerja tak semestinya. Melahirkan bayangan-bayangan tak berdasar tentang sebuah tempat setelah dunia. Ketakutan itu sungguh saya rasakan, cukup lama. Logika saya berloncatan dari pemahaman akhirat yang saya dapat dari Qur’an kepada visual yang saya dapat dari beberapa film yang pernah saya tonton. Road map kehidupan dari alam arwah (sebelum lahir) hingga bersatu kembali ruh dengan Sang Khalik yang tergambar dari sebuah poster juga turut membentuk imajinasi saya tentang hidup setelah mati. Semakin saya mencari, semakin banyak referensi yang tak berujung, yang semakin banyak varian. Artinya, otak saya akan meledak jika saya meneruskan refleksi kehidupan saya setelah mati nanti. Belum lagi, saya membayangkan apakah nanti saya masih menginginkan istri saya melebihi 7 bidadari yang disiapkan Tuhan di surgaNya, jika kelak saya dijebloskan ke dalam surga.
Melipir jauh ke sini, saya berkesimpulan bahwa tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana hidup setelah mati. Bahkan Qur’an pun menggambarkan dengan amat sederhana dan tafsirannya pun dipahami dengan penuh iming-iming. Sebuah usaha agar manusia senantiasa berbuat baik semasa hidupnya agar bisa menikmati sungai yang mengalir susu di bawah kakinya. Pertanyaan menarik, bagaimana jika kita alergi terhadap susu? 😀
Penutup.
Betapapun, kematian akan menjadi berita yang tak pernah diinginkan namun pasti datang entah kapan. Sebersiap apapun kita menghadapinya, Tuhan masih berkuasa dan dengan kun faya kun-Nya mampu membuat persiapan yang kita bangun sepanjang hayat, porak poranda hanya dengan hitungan detik. Lalu, apakah kita masih memilih untuk berjahat-jahat ria kepada isi dunia?